Halaman

Rabu, 21 November 2012

Pernyataan SBY tentang dua negara, Israel & Palestina, itu keliru besar!




Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebelum menuju Phnom Penh, Kamboja, Sabtu (17/11/2012) menyatakan keprihatinannya atas peristiwa yang terjadi di Palestina.

SBY berharap kekerasan dihentikan dan Palestina menjadi negara yang merdeka.

Dalam konteks ini, menurut SBY, tak hanya ada satu negara (Israel), tapi harus ada satu negara lagi, yaitu Palestina. Jadi, harus ada dua negara, Israel dan Palestina.

Pernyataan SBY itu keliru besar! Sebab, Israel adalah penjajah, yang merampas dan menjarah tanah Palestina, lalu mengusir orang-orang Palestina dari kampung halamannya. Penjajah Israel harus mengembalikan seluruh tanah jajahannya kepada bangsa Palestina tanpa syarat.

Tanah Palestina itu bukan hanya Gaza dan Tepi Barat –itu pun (dua wilayah ini) tetap dikangkangi Israel dan seakan berdiri sendiri-sendiri bahkan diadu domba antara Faksi Fatah (Tepi Barat) dengan Hamas (Jalur Gaza).

Jadi, pernyataan SBY harus ada dua negara (Israel & Paletina) itu bisa dibilang menyesatkan, karena mengingkari sejarah, dimana Israel adalah penjajah dan penjarah yang merampas tanah Palestina.

Yang dituntut bangsa Palestina dan Dunia Islam saat ini adalah kemerdekaan penuh bangsa Palestina dengan seluruh tanah dan wilayah yang diduduki (dijajah) Zionis Yahudi alias Zionis Israel.

Maka, jika Indonesia memang mendukung kemerdekaan bangsa Palestina, jangan setengah-setengah. Mendukung Palestina sepenuhnya atau tidak sama sekali. Jika mendukung Palestina Merdeka, itu artinya jangan pernah berpikir ada negara Israel, sebab Yahudi Israel ini adalah penjajah, perampas tanah Palestina.

Tapi, jika memang setengah hati, dengan masih menyebut (mengakui) ada negara Israel, itu berarti bisa dibilang tidak sungguh-sungguh mendukung negara Palestina. Pantas saja pemerintah Indonesia selama ini tak pernah tegas dengan Zionis Israel, sering kegigit lidah dan gagap dalam bersikap. Masih ada "hati" untuk sebuah "Negara Israel"?

Pelajaran yang pernah diperoleh Menlu RI Marty Natalegawa yang diusir oleh si penjajah Zionis Israel saat ingin mengikuti KTT Gerakan Non Blok di Ramallah, Palestina, Agustus 2012 lalu, mestinya lebih menyadarkan kita, siapa sesungguhnya kaum tengik ini. Marty sendiri bilang, Israel itu negara yang menduduki (menjajah) Palestina.

"Saya kira masalah Ramallah itu (pengusiran, red) sekarang makin terang benderang, siapa Israel itu. Negara yang menduduki Palestina selama puluhan tahun, selama berdekade dia duduki Palestina," kata Marty saat ditemui di Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat (detikcom, 7/8/2012).

Nah, sebagai negara yang menjajah, itu artinya, si Zionis ini bukanlah pemilik sah tanah yang didudukinya, walau secuil pun!

Jadi, alangkah tak logisnya jika ada orang yang masih berpikir tanah Palestina itu dibagi dua menjadi "Negara Israel" dan Negara Palestina. Negara Palestina, jelas! Karena, itu memang tanahnya Palestina. Nah, "Negara Israel", dari mana?

Minggu, 19 Agustus 2012

Pengungsi Rohingya ke Indonesia Bakal Bertambah


Seorang pengungsi perempuan Rohingya menggendong anaknya di sebuah kamp pengungsi tak terdaftar di Kutupalong, Banghladesh, pada September 2009. Bangladesh meminta tiga organisasi kemanusiaan internasional untuk menghentikan layanan bagi para pengungsi Rohingya yang berusaha menyelamatkan diri dari penganiayaan dan penyiksaan di Myanmar, Kamis (2/8/2012).

Direktur Human Right Watch (HRW) Phil Robertson memperkirakan beberapa bulan ke depan akan semakin banyak pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan di Indonesia apabila semakin buruknya situasi di Myanmar.
"Bila keadaan di Arakan tidak mengalami perubahan beberapa bulan ke depan, akan dipastikan semakin banyak perahu Rohingya yang tiba di Indonesia mencari perlindungan," ungkapnya, di kampus Universita Indonesia, Jumat (10/8/2012).
Menurutnya, Pemerintah Indonesia juga wajib untuk menolong para pengungsi Rohingya yang meminta perlindungan. "Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menerima orang Rohingya, menyediakan penampungan sementara, dan pendampingan," paparnya.
Selain itu, Ia pun mengkritik Pemerintah Bangladesh yang dianggap tidak mau menerima kaum Rohingya untuk mencari perlindungan. Bangladesh beralasan tidak memiliki dana untuk menolong para pengungsi Rohingya tersebut. Padahal Bangladesh menerima berbagai bantuan dari berbagai elemen sampai dengan 33 juta dollar AS.
"Pemerintah Bangladesh sama saja dengan pemerintah Myanmar. Pemerintah Bangladesh terus-menerus menyangkal bahwa Perdana Menteri Bangladesh telah memaksa orang Rohingya kembali ke laut," jelasnya.
HRW juga mengharapkan Indonesia untuk mendesak ASEAN agar mau berbicara secara terbuka untuk mengakhiri konflik sektarian di Myammar.
"Terpenting adalah jangan ada standar ganda karena di Indonesia kekerasan sektarian juga terjadi terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah," harapnya.
Phil pun menyayangkan tindakan tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang dianggap tidak berbuat apapun dengan kekerasan yang menimpa kaum Rohingya. "Aung San Suu Kyi melewatkan berbagai kesempatan untuk berbicara mengenai masalah ini," sesal Phil.



Beginilah Perbedaan Nasib Veteran RI dan Veteran Amerika


Beberapa waktu lalu kita baru saja memperingati kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 66, kemerdekaan bagi kita sang penerus bangsa memanglah sangat berarti, namun benarkah kita sudah benar-benar merdeka? Ingatkah kita dengan para pejuang yang telah berdarah-darah dan berlinang air mata hanya untuk kita sanga penerus bangsa yang mereka kira akan lebih baik dari jaman kolonialisme dahulu.

Sayangnya cita-cita tersebut sepertinya belum kesampaian.. lihatlah sekarang.. Arrrghhh... STOP! apasih.com kali ini bukan mau bicarakan kesusahan kita melulu, tapi kali ini apasih.com mau memperjuangkan sedikit tentang veteran RI dimasa kini, paling tidak kita tau. kita bandingkan dengan veteran perang di Amerika sperti dibawah ini.

Veteran Amerika













Mereka diberikan tempat yang layak untuk menghabiskan sisa hari tua

Bandingkan dengan Veteran di Indonesia













menunggu detik-detik terakhir rumah mereka disita/digusur. lalu mereka mau tinggal dimana?


Veteran Amerika













Mereka diberikan santunan dana serta jaminan kesehatan

Bandingkan dengan Veteran di Indonesia












Masih harus berjuang menuntut hak mereka, tapi kalau admin pikir sih. itu bukan hak mereka, tapi memang KEWAJIBAN kita saudara-saudara!


Veteran Amerika












Mereka diperlakukan bak seorang pahlawan dilingkungan tempat tinggalnya

Bandingkan dengan Veteran di Indonesia













Hanya muncul untuk mengisi acara kemerdekaan 17 agustus di beberapa stasiun TV, setelah itu? siapa peduli!?


Dan inikah orang-orang yang kini mengemban tanggungjawab yang diamanahkan oleh para pahlawan kita?












Sedangkan dulu hanya demi "menancapkan" bendera merah putih saja mereka rela untuk bertumpah darah!

















Coba bandingkan lagi dengan yang satu ini.

Seorang veteran yang tidak lebih adalah seorang tua renta dan tidak pernah menuntut apa-apa selain hidup tenang di sisa hayatnya


















atau yang ini?














Masih minta naik gaji, mobil mewah, gedung baru, apalagi tingkah laku beberapa anggotanya yang kita mati rasa.

oke, cukup semua itu untuk membuka mata kita tentang nasib mereka kini, admin disini bukan menjadi sok pahlawan. tapi karena ini memang perlu saudara-saudara! anggaran APBN tidak akan habis hanya untuk menyantuni mereka wahai pak presiden! bukankah BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI JASA PARA PAHLAWANNYA? atau kalimat itu hanya sebuah khiasan untuk membesarkan hati para veteran di hari kemerdekaan ?

Senin, 06 Agustus 2012

SBY sebut tak ada genosida terhadap Muslim Rohingya

Presiden SBY akhirnya berbicara tentang Muslim Rohingya. Setelah beberapa kalangan mendesak agar dirinya memberikan pernyataan pers terhadap nasib kaum Muslimin etnis Rohingya di Myanmar, Sabtu (4/8/2012) bertempat di kediaman pribadinya di Cikeas, Jawa Barat, Presiden SBY berbicara persoalan yang menyita perhatian dunia tersebut.

Dalam keterangan persnya, SBY menyatakan tak ada genosida (pembantaian massal) terhadap Muslim Rohingya di Myanmar. "Sejauh ini tidak ada genosida," ujarnya. SBY menjelaskan, konflik yang terjadi di Myanmar tersebut serupa dengan peristiwa yang pernah terjadi di Poso, Sulawesi Tengah.

Dengan gaya khasnya, SBY juga meminta kita berhati-hati dengan mengedepankan jalur diplomasi, karena Myanmar saat ini sedang membangun upaya rekonsiliasi dan demokratisasi. "Sebenarnya pemerintah Myanmar sedang berusaha untuk mengatasi. Kita ketahui pemerintah Myanmar sekarang ini tengah melakukan upaya yang juga sangat serius untuk demokratisasi dan rekonsiliasi di antara pihak berseberangan dan nation building di antara komponen yang ada setelah dilaksanakan pemilu beberapa saat lalu," jelas SBY.

Apa benar pemerintah Myanmar sedang berusaha membangun upaya rekonsiliasi dan demokratisasi? Yang jelas, menurut Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, yang terjadi terhadap etnis Rohingya di Myanmar adalah pelanggaran HAM yang disponsori oleh negara. Pernyataan Ifdhal disampaikan dalam dialog interaktif mengenai nasib Muslim Rohingya yang diselenggarakan oleh Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS),  di Jalan Dempo, Jakarta Pusat (4/8/2012).

Senada dengan Ifdhal, Muhammad Rafiq, pengungsi Rohingya yang hadir dalam acara dialog tersebut menyatakan bahwa tragedi yang menimpa kaum Muslimin Rohingya melibatkan aparat Junta militer Myanmar.

"Mereka melakukan patroli tiap tengah malam, masuk ke rumah-rumah penduduk Muslim, kemudian membantai  dan membuang korban yang sudah tewas begitu saja di depan rumah," tuturnya dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Muhammad Rafiq juga menceritakan, aparat militer dan oknum kelompok Budha terlibat dalam aksi yang memilukan tersebut. "Militeri dan Budhis, dua-duanya menyerang," tegasnya.

Jadi, bagaimana dengan pernyataan SBY di atas yang jauh berbeda dengan kebanyakan orang? Tak sesuai pula dengan kenyataan seperti diceritakan para pengungsi?



Selasa, 31 Juli 2012

Mahasiswa dan tanggung jawab sosial



Perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang tidak sekedar untuk kuliah, mencatat pelajaran, pulang dan tidur. Tapi harus dipahami bahwa perguruan tinggi adalah tempat untuk penggemblengan mahasiswa dalam melakukan kontempelasi dan penggambaran intelektual agar mempunyai idealisme dan komitmen perjuangan sekaligus tuntutan perubahan.
Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan bisa dilepaskan dari suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresitivitas mereka dalam merespon gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Akan tetapi fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi, transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep NKK/BKK itu, pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercerabut dari realitas sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran kemasyrakatan yang semestinya diambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan sebaliknya bersikap apolitis.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahassiwa dalam merespon gejala sosial yang dihadapinya, karena di samping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran ideal seperti itu, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyrakatan yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus dan mayarakat.

Gerakan Mahasiswa dalam Kontelasi Bangsa dan Negara



Predikat mahasisa sungguh mengagumkan mengingat posisinya sangat strategis dan menduduki posisi signifikan dalam strarata sosial. Gelar mahasiswa adalah simbol keburuntungan karena secara kuantitas jumlah mahasiswa sangat terbatas bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di Tanah Air. Dengan kata lain, masih sangat banyak orang yang kurang beruntung sehingga tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi disebabkan faktor kemiskinan.
Mahasiswa di samping ‘kemukjizatan’ gelar yang disandang juga memiliki kemukjizatan lain sebagai karakteristiknya, yaitu identik dengan idealisme dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Segala bentuk kejanggalan, perbuatan amoral, ketidak-adilan adalah domain yang senantiasa didobrak oleh mahasiswa. Maka, rentetan sejarah Tanah Air menunjukkan fakta perjuangan mahasiswa di mana ketimpangan sosial selalu dihancurkan.
Kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 tidak bisa—meski sebagian kalangan menilai tidak semata upaya-upaya mahasiswa—dilepaskan dari peranan mahasiswa. Peranan mahasiswa ketika itu sungguh sangat penting. Penulis tidak yakin Soeharto berhasil dilengserkan jika mahasiswa pada saat itu berpangku tangan dan tidak melakukan aksi apa-apa. Di samping itu, sangat banyak fakta sejarah mesdiskripsikan betapa bahasiswa memiliki peran penting dalam konstelasi bangsa dan Negara.
Kendatipun demikian, penulis tidak hendak beromantisme dengan masa lalu. Masa lalu hanyalah kenangan di mana spirit zaman hari ini sangat berbeda dengan masa lalu. Ulasan di atas dipaparkan untuk melihat posisi mahasiswa dan diupayakan dikontekstualisasikan dengan dinamika dan pergerakan mahasiswa hari ini. Dalam hemat penulis, gerakan mahasiswa harus tetap memberi warna dalam konstelasi bangsa dan Negara.
Gerakan Mahasiswa Hari Ini
Memang harus diakui bahwa gerakan mahasiswa sejak beberapa tahun terakhir mengalami ‘arus mengalir’ bak air. Sebagaimana sifat air, ia tidak akan pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Begitu pula dengan gerakan mahasiswa. Inilah penilaian beberapa kalangan terhadap gerakan mahasiswa saat ini. Penilaian tersebut bukanlah sesuatu yang final hingga tidak ada yang menolaknya. Penilaian orang sangat fariatif karena ia bukan kebenaran absolute yang datang dari Tuhan. Ada yang mengafirmasi dan ada pula yang menegasikan penilaian dengan sudut pandang di atas.
Penilaian seseorang sangat tergantung pada pendekatan dan sudut pandang yang dijadikan acuan. Jika dilihat dari “tras-nya”, harus diyakini gerakan mahasiswa terlihat datar atau bahkan mengalami penurunan. Gerakan mahasiswa seakan “malempem” dan tidak mampu mewarnai pelbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Akankah gerakan mahasiswa tidak mampu berdialog dengan zaman?
Kenyataan di atas bahwa gerakan mahasiswa mengalami ‘kemandulan’ memang ada benarnya. Tetapi yang menjadi persoalan tersebut tampil mengemuka tidak semata-mata aktivitas gerakan mahasiswa pada dirinya sendiri, tetapi juga karena ‘politik pencitraan’ dan asumsi-asumsi yang tidak didasarkan pada konteks. Disandarkan pada konteks berarti setiap gerakan mahasiswa mempunyai konteks dan latar belakang serta motif yang berbeda dan memiliki pijakan masing-masing. Kesalahan fatal ketika kita menggunakan induktif (dalam ilmu logika) dengan maksud melakukan universalisasi setiap persoalan dengan mengambil satu atau dua contoh kasus. Cara seperti ini berimplikasi negatif pada kerancuan berfikir dan kesalahan dalam menarik kesimpulan. Contoh yang paling tampak, kasat mata adalah gerakan mahasiswa yang melakukan aksi ditunggangi kepentingan elit politik tertentu.
Kenyataan bahwa aktivitas mahasiswa bergerak karena motif tertentu dan mengakomodasi kepentingan elit politik tidak bisa dinafikan. Sebab, realitas demikian memang benar atau mendekati kebenaran. Hanya saja kebenaran kasus seperti di atas kemudian dijadikan kesimpulan terhadap semua aktivitas gerakan mahasiswa mengacaukan pemikiran karena terbuka kemungkinan terdapat gerakan mahasiswa lebih disebabkan tuntutan etik-moral melihat kenyataan sosial yang timpang.
Stigma negatif yang dilengketkan kepada gerakan mahasiswa menghancurkan tatanan ideal yang menjadi karakter mahasiswa itu sendiri. Di satu sisi mahasiswa sejatinya memperjuangkan idealisme karena predikat mahasiswa adalah predikat sakral yang dititahkan Tuhan. Mahasiswa harus mampu merespon lingkungan dan dinamika kebangsaan. Mahasiswa harus mengapresiasi keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai oleh pemerintah. Namun ketika terjadi kejanggalan, maka tugas mahasiswa adalah memperbaikinya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan. Dan pada sisi yang lain, mahasiswa dituntut memenuhi kebutuhan hidup. Mahasiswa yang tergoda dengan iming-iming “kemewahan” dan tidak mau hidup apa adanya memilih menggadaikan idealisme dengan sesuatu yang materialistik. Kendatipun demikian, bijakkah kita menggeneralisir setiap persoalan ke dalam sudut pandang seperti ini? Bijakkah kita menganggap setiap manusia jelek hanya karena melihat seorang pembunuh?
Gerakan mahasiswa hari ini dalam amatan penulis kehilangan arah (untuk tidak mengatakan mengalami disorientasi) untuk melanjutkan perjuangan generasi-generasi sebelumnya. Kondisi seperti ini diperparah dengan stigma negatif yang sengaja dilekatkan pada mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa yang spiritnya tidak menghujam di relung kalbu akan cenderung pasif akibat ketakutan akan memperoleh stigma negatif apabila ikut gerakan.
Orang yang memberi penilaian negatif terhadap gerakan mahasiswa biasanya bersumber dari pejabat pemerintah. Penilaian seperti ini kemudian diadopsi oleh orang-orang tanpa mempertimbangkan aspek politis dari penilaian tersebut. Padahal, labelitas negatif terhadap mahasiswa memiliki motif picik supaya mahasiswa tidak merong-rong capaian keuntungan yang ia peroleh. Atau untuk membuat isu tandingan karena terusik dengan gerakan mahasiswa. Untuk menyelamatkan diri, akhirnya mereka membuat isu tandingan untuk meng-counter isu mahasiswa.
Mencerahkan Kembali Gerakan Mahasiswa
Penulis teringat perkataan Cak Nur tahun 60-an bahwa gerakan harus mampu mengabaikan aspek-aspek kepentingan sempit kekuasaan dan melebur ke dalam kepentingan universal. Sudah saatnya gerakan mahasiswa melakukan konsolidasi untuk memantapkan ikhtiar memperjuangkan keadilan dan etik-moral sosial masyarakat. Salah satu kelemahan gerakan mahasiswa karena lebih kuatnya kepentingan subyektif dari pada pengabdian terhadap bangsa dan Negara.
Di samping konsolidasi, sesuatu yang sangat penting pula adalah capacity building di mana gerakan kemahasiswaan terkesan sangat rapuh. Mahasiswa gerakan sejatinya pandai dan mampu mengikuti perkembangan zaman. Apa yang kita tahu hari ini kurang relevan jika diterapkan esok hari karena semangat zamannya juga berubah. Di sinilah letak pentingnya pembenahan diri setiap saat.
Persoalan momentum bukanlah suatu hal yang dibanggakan. Keberhasilan mahasiswa yang diuntungkan oleh momentum untuk meraih popularitas bukanlah menjadi tujuan. Sebab, mahasiswa berpijak pada kebenaran. Gerakan mahasiswa bukanlah aktivitas kaum artis yang mencari ketenaran. Tetapi mahasiswa membawa misi kemanusiaan. Setiap kali kita temukan ketidak-benaran, pada saat itu pula mahasiswa harus bergerak. Menurut anda bagaimana?

PERANAN MAHASISWA DALAM PERADABAN INDONESIA



Mahasiswa berasal dari dua kata yang digabungkan, yaitu Maha dan Siswa. Maha yang artinya tertinggi sedangkan siswa adalah bagian dari kaum pelajar. Jadi, Mahasiswa adalah orang yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Mahasiswa adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari negara ini karena peran pentingnya yang begitu besar terhadap majunya sebuah peradaban yang sedang dibangun oleh bangsa ini. Peradaban yang mempunyai cita cita luhur dan mulia, yaitu menuju Indonesia yang makmur dan sejahtera
Mahasiswa juga dapat dikatakan sebuah komunitas yang sangat unik yang berada di tengah tengah masyarakat dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya. Berdasarkan kelebihan dan kesempatan yang dimilikinya, maka tidak pantaslah seorang mahasiswa mementingkan kepentingan pribadi (apatis) tanpa memberikan sumbangsih terhadap bangsa dan negaranya.
Mahasiswa mempunyai tempat tersendiri di dalam tubuh masyarakat yang berarti bukan bagian yang terpisahkan dari lingkungan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, mahasiswa dapat dirumuskan perihal peran dan fungsi mahasiswa untuk peradaban Bangsa Indonesia.
1.       Mahasiswa sebagai Iron Stock
Mahasiswa adalah bagian dari sebuah harapan kecil masyarakat yang diharapkan dapat merubah kondisi bangsa yang saat ini semakin runyam akibat dari berbagai permasalahan yang terjadi, baik itu masalah politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sandang dan juga pangan. Mahasiswa yang diharapkan lahir menjadi pemimpin pemimpin tangguh, berakhlak mulia dan intelektual serta kritis terhadap kondisi bangsanya.  Sejarah telah melahirkan banyak cerita tentang peranan pemuda dan kaum pelajar (baca : mahasiswa) dalam perubahan kondisi bangsa dan negaranya mulai dari zaman kenabian, zaman kolonialisme hingga zaman reformasi.

2.        sebagai Guardian of Value
Mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai nilai moral di dalam masyarakat.nilai nilai yang harus dijaga mahasiswa adalah nilai nilai yang bersifat mutlak serta tidak ada lagi keraguan didalamnya.
Sebagai Agen Guardian of Value, sudah seharusnya mahasiswa menjadi contoh yang baik di lingkungan masyarakat serta juga menjadi bagian untuk mencegah hal hal yang merusak nilai nilai moral yang saat ini sedang merongrong kehidupan para pemuda.

3.       Mahasiswa sebagai Agent of Change
Mahasiswa berperan sebagai Agen Perubahan. Mahasiswa yang diharapkan oleh masyarakat menjadi bagian dari perubahan dan aktor yang membawa bangsa ini menjadi lebih baik, lebih bermartabat, lebih makmur, lebih sejahtera dan lebih tentram. Mahasiswa seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawal serta melakukan perubahan yang sejak lama diimpikan oleh masyarakat banyak dikarenakan mahasiswa adalah kaum serta golongan yang “eksklusif”.
Perubahan itu sendiri sebenarnya dapat dilihat dari dua pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa tatanan kehidupan bermasyarakat sangat dipengaruhi oleh hal-hal bersifat materialistik seperti teknologi, misalnya kincir angin akan menciptakan masyarakat feodal, mesin industri akan menciptakan mayarakat kapitalis, internet akan menciptakan menciptakan masyarakat yang informatif, dan lain sebagainya. Pandangan selanjutnya menyatakan bahwa ideologi atau nilai sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan.
Sebagai mahasiswa nampaknya kita harus bisa mengakomodasi kedua pandangan tersebut demi terjadinya perubahan yang diharapkan. Itu semua karena kita berpotensi lebih untuk mewujudkan hal-hal tersebut.
Saat ini, bangsa kita sedang terpuruk wahai para generasi yang mulia. Maka ditangan kitalah bagaimana masa depan Indonesia kedepan. Sudah saatnya kita bangun, bangkit, dan memahami sungguh sungguh apa yang sedang terjadi pada Indonesia saat ini. Mari kita belajar dari masa lalu wahai pemuda serta yakin terhadap perkataan Tuhan, niscaya kelak bangsa ini akan menjadi bangsa yang disegani di dunia.

http://muhammadasrulnasution.wordpress.com/2011/06/17/peranan-mahasiswa-dalam-peradaban-indonesia/